Rabu, 10 April 2013

PERPINDAHAN WANGSA ISYANA

SEJARAH ASIA SELATAN

PERPINDAHAN WANGSA ISYANA






Di susun

Oleh

Akhmad Riyadi

NIM  A1A111020

Dosen Pengajar :

Rusdi Effendi


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

BANJARMASIN

  2012



KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat TuhanYang Maha Kuasa, salawat beserta salam Allah semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang telah menuntun kita dari zaman yang penuh dengan kegelapan menuju zaman yang terang benderang dengan ilmu pengetahuan seperti saat ini.

Penulis sangat menyadari bahwa dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan, baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Dengan begitu Penulis sangat memohon kemakluman dari pembaca atas kekurangan tersebut, karena tidak ada yang sempurna seperti zat-Nya. Dan apa kata pepatah “ Tak ada gading yang tak retak ”  oleh karena itu, kritik dan saran yang positif dan konstrutif sangat penulis harapkan demi lebih sempurnanya makalah ini. Sebagai rasa hormat dan penghargaan, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih terhadap pihak-pihak yang turut mendukung dan memberikan motivasi atas tersusunnya makalah ini, baik yang memberikan motivasi lewat doa, dukungan moril dan materil, yang sangat berharga bagi penulis.

Akhir kata semoga makalah ini bisa  memberikan manfaat bagi pembaca memberikan wawasan bagi penulis dan menjadi motivasi untuk terus belajar  dan menambah pengetahuan. Dan Semoga dengan makalah singkat ini kita dapat lebih memahami bagaimana sebenarnya Sejarah Perkembangan Perekonomian Indonesia.


Penulis 
Banjarmasin, 23 Desember 2012

i


DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar isi

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

D. Batasan Masalah

E. Metodologi Penulisan

F. Sistematika Penulisan

Bab II Pembahasan
A. Kerajaan Mataram kono

B. Awal berdirinya kerajaan

C. Kerajaan Mataran di Jawa Tenggah

D. Kerajaan Mataram di Jawa Timur

E. Dinasti Yang Berkuasa

F. Sistem Pemerintahan

G. Akhir Hayat

H. Konflik takhta periode Jawa Tengah

I. Permusuhan Dengan Sriwijaya

J. Peristiwa Mahapralaya

K. Peninggalan sejarah

L. Dinasti Sanjaya

M. Dinasti Syailendra

N. Daftar Raja raja Madang

O. Struktur Pemerintahan

P. Keadaan Penduduk

Q. Ekonomi

R. Kehidupan Sosial Budaya

S. Sumber Sumber Sejarah Kerajaan Madang

T. Penyebab Pindahnya Wangsa Isyana Ke Jawa Timur

Bab III Penutup

A. Kesimpulan

B. Saran

C. Daftar Pustaka



BAB  I
Pendahuluan

A.      Latar Belakang

Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang  Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjukladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.

Pada abad ke-10 berakhinya kekuasaan Dyag balitung dikerajaan Mataram hindu di Jawa Tengah , kekuasaannya mundur. Ada dugaan bahwa kemunduran akibat adanya bencana alam. Terutama gunung meletus yang mengahancurkan pusat kerajaan dan seluruh perekonomiannya.  Masalah ini tidak dapat di selesaikan oleh Rakai Wawa . ia wafat  mendadak .kedudukan itu selanjudnya digantikan oleh Mpu Sindok yang waktu itu menjadi Rakryan I Hino. Kemudian kerajaan Mataram kuno pindah ke Jawa Timur,tepatnya di muara Sungai Brantas,ibukota Medang adalah Watan Mas.1 

Empu Sendok memindahkan pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang dari tahun 929 hingga 948. Mpu Sindok memerintah bersama permaisuri yang bernama Mpu Kebi, yang bergelar Sri Prameswari Wardhani Mpu Kebi Nama Permaisuri Mpu Kebi atau Dyah Kebi ini dapat di temukan dalam Prasasti Cunggrang (929) dan Prasasti Gaweg (933).2

1 M.C Ricklefs 1989 Sejarah Indonesia Modern Monash University : Gajah Mada Halaman 60

2 Dianawati Ajen 2004 Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap (RPUL) Jakarta : PT Wahyu Media. Halaman 248


Sistem birokrasi kerajaan Medang masih sama dengan kerajaan lain yaitu pemimpin teritinggi yaitu raja, didalam naskah Ramayana Kakawin yang sampai kepada kita berisikan tentang raja Dharma( tugas kewajiban seorang raja) yaitu bagian yang merupakan ajaran Rama kepada adiknya Brarata dan kepada Whibisana dijumpai antara lain ajaran astabrata, yaitu prilaku yang delapan. Dikatakan bahwa didalam diri seorang raja berpadu 8 dewa-dewa yaitu Indra, Yama, Suryya,Soma, Wayu, Kuwera, Waruna, dan Agni.

Dan keadaan masyarakatnya yaitu bertani dan masih adanya sistem perpajakan untuk rakyat,masyarakat juga mengenal perdagangan di pasar desa dan diluar pulau, barang yang diperdagangan seperti hasil bumi yaitu beras buah-buahan, sirih pinang dan buah mengkudu juga hasil industrai rumah tangga, seperti alat perkakas dari besi dan tembaga, pakaian , payung, keranjang dan barang- barang anyaman, kejang kepis, gula arang dan kapur sirih. Binatang ternak seperti kerbau, sapi, kambing itik dan ayam serta telurnya juga diperjualbelikan.

B. Rumusan Masalah 

1.     Apa penyebab perpindahan kerajaan Medang?

2.     Apa bukti keberadaan Kerajaan Medang di Jawa Timur?

3.     Bagaimana sistem pemerintahan kerajaan Medang ?

4.     Bagaimana sistem perekonomian,kepercayaan ?

C. Tujuan Penulisan 

1. Agar pembaca tahu sebab-sebab perpindahan kerajaan Medang.

2. Agar pembaca mengetahui peninggalan Kerajaan Medang yang menyebar di pulau

3. Agar pembaca mengetahui struktur pemerintahan kerajaan Medang.

4. Agar pembaca tahu sistem birokrasi, Kosmogonis dan sistem pemerintahan kerajaan Medang
D. Batasan Masalah

Dalam penulisan makalah ini, saya hanya membahas tentang “Sejarah Mataram ” .

Yang di dalam pembahasan tersebut berisi, antara lain :
1. Pusat Kerajaan Medang

2. Awal berdirinya kerajaan

3. Dinasti yang berkuasa

4. Daftar raja-raja Medang

5. Struktur pemerintahan

6. Keadaan penduduk

7. Konflik takhta periode Jawa Tengah

8. Teori van Bammelen

9. Permusuhan dengan Sriwijaya

10. Peristiwa Mahapralaya

12. Peninggalan sejarah


E. Metodologi Penelitian 

Metode yang penulis lakukan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

 1. Dari media informasi (Internet)

 2. Literatur / kepustakaan

Di sini tentunya penulis sangat memerlukan berbagai media informasi dan buku- buku yang berkaitan dengan pembahasan yang penulis angkat di atas.  

F. Sistematika Penulisan 

 1. BAB I   PENDAHULUAN

Merupakan bagian yang menerangkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, batasan masalah, dan metodologi penulisan serta sistematika penulisan.

2. BAB II   PEMBAHASAN

Menguraikan masalah secara teliti dan lebih mendetail.

3. BAB III   PENUTUP

Bagian ini memuat kesimpulan dan saran Karya Ilmiah yang saya buat ini...

1.  Daftar Pustaka
 

 

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kerajaan Mataram Kuno 
 
Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berdiri sejak awal abad ke-8. Pada awal berdirinya, kerjaan ini berpusat di Jawa Tengah. Akan tetapi, pada abad ke-10 pusat Kerajaan Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur. Kerajaan Mataram Kuno mempunyai dua latar belakang keagamaan yang berbedaa, yakni agama Hindu dan Buddha.  Peninggalan bangunan suci dari keduanya antara lain ialah Candi Geding Songo, kompleks Candi Dieng, dan kompleks Candi Prambanan yang berlatar belakang Hindu. Adapun yang berlatar belakang agama Buddha antara lain ialah Candi Kalasan, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Sewu, dan Candi Plaosan.
 
Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah terdiri dari dua wangsa (keluarga), yaitu wangsa Sanjaya dan Sailendraa. Pendiri wangsa Sanjaya adalah Raja Sanjaya. Ia menggantikan raja sebelumnya, yakni Raja Sanna. Konon, Raja Sanjaya telah menyelamatkan Kerajaan Mataram Kuno dari kehancuran setelah Raja Sanna wafat.
 
Setelah Raha Sanjaya wafat, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno dipegang oleh Dapunta Sailendra, pendiri wangsa Sailendra. Para raja keturunan wangsa Sanjaya seperti Sri   Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Rakai Panunggalan, Sri Maharaja Rakai Warak, dan Sri Maharaja Rakai Garung merupakan raja bawahan dari wangsa Sailendra.3
 
3   Hadisumarnu S, R.Bintarto 1979  Metode Analisa Geografi Jakarta : LP3ES Halaman 89 dan 90

Oleh Karena adanya perlawanan yang dilakukan oleh keturunan Raja Sanjaya, Samaratungga (raja wangsa Sailendra) menyerahkan anak perempuannya, Pramodawarddhani, untuk dikawinkan dengan anak Rakai Patapan, yaitu Rakai Pikatan (wangsa Sanjaya). 3

    Rakai Pikatan kemudian menduduki tahta Kerajaan Mataram Kuno. Melihat keadaan ini, adik Pramodawarddhani, yaitu Balaputeradewa, mengadakan perlawanan namun kalah dalam peperangan. Balaputeradewa kemudian melarikan diri ke Pulau Sumatra dan menjadi raja Sriwijaya.

Pada masa Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu berkuasa, terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran Kerajaan Mataram Kuno. Ketika Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa berkuasa, kerajaan ini berakhir dengan tiba-tiba. Diduga kehancuran kerajaan ini akibat bencana alam karena letusan G. Merapi, Magelang, Jawa Tengah.3

    Setelah terjadinya bencana alam yang dianggap sebagai peristiwa pralaya, maka sesuai dengan landasan kosmologis harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Pada abad ke-10, cucu Sri Maharaja Daksa, Mpu Sindok, membangun kembali kerajaan ini di Watugaluh (wilayah antara G. Semeru dan G. Wilis), Jawa Timur. Mpu Sindok naik takhta kerajaan pada 929 dan berkuasa hingga 948. 3

3 Hadisumarnu S, R.Bintarto 1979  Metode Analisa Geografi Jakarta : LP3ES Halaman  90 dan 91


Kerajaan yang didirikan Mpu SIndok ini tetap bernama Mataram. Dengan demikian Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Perpindahan kerajaan ke Jawa Timur tidak disertai dengan penaklukan karena sejak masa Dyah Balitung, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno telah meluas hingga ke Jawa Timur. Setelah masa pemerintahan Mpu Sindok terdapat masa gelap sampai masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga (1020). Sampai pada masa ini Kerajaan Mataram Kuno masih menjadi saatu kerajaan yang utuh. Akan tetapi, untuk menghindari perang saudara, Airlangga membagi kerajaan menjadi dua, yaitu Kerajaan Pangjalu dan Janggala. 3

Kerajaan Medang pada Periode Jawa Tengah dan Jawa Timur

3  Hadisumarnu S, R.Bintarto 1979  Metode Analisa Geografi Jakarta : LP3ES Halaman  91
Kerajaan Medang (atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-6, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11. 3

B. Awal Berdirinya Kerajaan

Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya

3 Hadisumarnu S, R.Bintarto 1979  Metode Analisa Geografi Jakarta : LP3ES Halaman 89

Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha, saudara perempuan Sanna 3

Sanna, juga dikenal dengan nama "Sena" atau "Bratasenawa", merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716 M). Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa.

Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) adalah sahabat baik Sanna. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan sahabat Sanna).

Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat). Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan

3 Hadisumarnu S, R.Bintarto 1979  Metode Analisa Geografi Jakarta : LP3ES Halaman 90

Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan yang baru ditulis ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16;


C. Kerajaan Mataram di  Jawa Tengah

Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah terdiri dari dua wangsa (keluarga), yaitu wangsa Sanjaya dan Sailendraa. Pendiri wangsa Sanjaya adalah Raja Sanjaya. Ia menggantikan raja sebelumnya, yakni Raja Sanna. Konon, Raja Sanjaya telah menyelamatkan Kerajaan Mataram Kuno dari kehancuran setelah Raja Sanna wafat.

Setelah Raha Sanjaya wafat, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno dipegang oleh Dapunta Sailendra, pendiri wangsa Sailendra. Para raja keturunan wangsa Sanjaya seperti Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Rakai Panunggalan, Sri Maharaja Rakai Warak, dan Sri Maharaja Rakai Garung merupakan raja bawahan dari wangsa Sailendra.

Oleh Karena adanya perlawanan yang dilakukan oleh keturunan Raja Sanjaya, Samaratungga (raja wangsa Sailendra) menyerahkan anak perempuannya, Pramodawarddhani, untuk dikawinkan dengan anak Rakai Patapan, yaitu Rakai Pikatan (wangsa Sanjaya).

Rakai Pikatan kemudian menduduki takhta Kerajaan Mataram Kuno. Melihat keadaan ini, adik Pramodawarddhani, yaitu Balaputeradewa, mengadakan perlawanan namun kalah dalam peperangan. Balaputeradewa kemudian melarikan diri ke P. Sumatra dan menjadi raja Sriwijaya.

Pada masa Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu berkuasa, terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran Kerajaan Mataram Kuno. Ketika Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa berkuasa, kerajaan ini berakhir dengan tiba-tiba. Diduga kehancuran kerajaan ini akibat bencana alam karena letusan G. Merapi, Magelang, Jawa Tengah. 3
 
 3 Hadisumarnu S, R.Bintarto 1979  Metode Analisa Geografi Jakarta : LP3ES Halaman 90 dan 91
 
 
D.  Kerajaan Mataram di Jawa Timur

Setelah terjadinya bencana alam yang dianggap sebagai peristiwa pralaya, maka sesuai dengan landasan kosmologis harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Pada abad ke-10, cucu Sri Maharaja Daksa, Mpu Sindok, membangun kembali kerajaan ini di Watugaluh (wilayah antara G. Semeru dan G. Wilis), Jawa Timur. Mpu Sindok naik takhta kerajaan pada 929 dan berkuasa hingga 948. Kerajaan yang didirikan Mpu SIndok ini tetap bernama Mataram.

Dengan demikian Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Perpindahan kerajaan ke Jawa Timur tidak disertai dengan penaklukan karena sejak masa Dyah Balitung, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno telah meluass hingga ke Jawa Timur.

 Setelah masa pemerintahan Mpu Sindok terdapat masa gelap sampai masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga (1020). Sampai pada masa ini Kerajaan Mataram Kuno masih menjadi saatu kerajaan yang utuh. Akan tetapi, untuk menghindari perang saudara, Airlangga membagi kerajaan menjadi dua, yaitu Kerajaan Pangjalu dan Janggala.3

    Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.1

    Sesungguhnya, pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain,
 
- Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)

- Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)

- Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)

- Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
 
 
1 M.C Ricklefs 1989 Sejarah Indonesia Modern Monash University : Gajah Mada Halaman 60

3 Hadisumarnu S, R.Bintarto 1979  Metode Analisa Geografi Jakarta : LP3ES Halaman 89 dan 90 
 
 
- Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)

- Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)

- Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh) 


Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.

E. Dinasti yang berkuasa

Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.

Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana.

Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya.

Menurut teori Bosch


Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.

Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka).

Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.

Menurut teori Slamet

Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.

Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.

Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra ataupun Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih. Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana yang baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram. 3



3 Hadisumarnu S, R.Bintarto 1979  Metode Analisa Geografi Jakarta : LP3ES Halaman 91


F. Sistem Pemerintahan Kerajaan Medang


Didalam prasasti Mantyasih , Desa Mantyasih disebut sima kapatihan karena yang mendapat anugrah adalah lima orang patih di Mantyasih, didalam prasasti Sangguran disebut sima kajurugusalyan di Mananjung, karena ada jabatan juru gusali, yaitu ketua para pandai besi, didalam prasasti Balingawan disebut sima kamulan, karena semula Desa Balingawan itu selalu diganggu oleh penjahat sehingga penduduk

5 Syukur, Abdul, Ensiklopedi Umum untuk Pelajar , Jilid 6, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005. Halaman 161.

Didalam prasasti telang ada istilah kamulan dan rumah kamulan yang jelas tidak ada hubungan dengan tempat pemujaan cikal bakal Desa telang, karena menjadi pokok pembicaraan dalam prasasti itu ialah tempat penyeberangan. Berdasarkan itu semua dapat disimpulkan disini bahwa Desa Bhumisambhara itu ialah sima kamulan karena dianugrahkan kepada pejabat mula. Saying sekali hingga sekarang belum jelas apa tugas seorang mula dalam masyarakat jawa kuno.

Didalam prasasti Mantyasih tersebut tertulis daftar raja-raja Medang yang telah berkuasa dalam setiap masa pemerintahannya.daftar raja-raja tersebut sebagai berikut:

1. Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang (Karya Candi Canggal / Penganut Hindu Syiwa)

2. Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Sailendra(Membangun Candi Borobudur,sebagai penganut budha mahaya" dinasti berpindah agama dari leluhurnya yang hindu syiwa")membangun juga candi Kalasan , sebagai pengormatan leluhur").

3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra Menaklukkan Sriwijaya bahkan sampai ke kamboja dan campa berjuluk Wirawairimathana (penumpas musuh perwira)

4. Rakai Warak alias Samaragrawira Ayah dari Balaputradewa raja Sriwijaya Wirawairimathana (penumpas musuh perwira)

5. Rakai Garung alias Samaratungga Sri Maharaja Samarottungga,

Atau kadang ditulis Samaratungga, adalah raja SriwijayaWangsa Syailendra yang memerintah pada tahun 792 – 835. Tidak seperti pendahulunya yang

ekspansionis, pada masa pemerintahannya, Sriwijaya lebih mengedepankan pengembangan agama dan budaya. Pada tahun 825, dia menyelesaikan pembangunan candi Borobudur yang menjadi kebanggaan Indonesia.

Untuk memperkuat aliansi antara wangsa Syailendra dengan penguasa Sriwijaya terdahulu, Samaratungga menikahi Dewi Tara, putri Dharmasetu. Dari pernikahan itu Samaratungga memiliki seorang putra pewaris tahta, Balaputradewa, dan Pramodhawardhani yang menikah dengan Rakai Pikatan, putra Sri Maharaja Rakai Garung, raja kelima Kerajaan Medang.

6.  Rakai Pikatan suami Pramodawardhani,

Awal kebangkitan Wangsa Sanjaya  (Candi Prambanan) Rakai Pikatan terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Nama aslinya menurut prasasti Argapura adalah Mpu Manuku. Pada prasasti Munduan tahun 807 diketahui Mpu Manuku menjabat sebagai Rakai Patapan. Kemudian pada prasasti Kayumwungan tahun 824 jabatan Rakai Patapan dipegang oleh Mpu Palar. Mungkin saat itu Mpu Manuku sudah pindah jabatan menjadi Rakai Pikatan. Akan tetapi, pada prasasti Tulang Air tahun 850 Mpu Manuku kembali bergelar Rakai Patapan.

Sedangkan menurut prasasti Gondosuli, Mpu Palar telah meninggal sebelum tahun 832. Kiranya daerah Patapan kembali menjadi tanggung jawab Mpu Manuku, meskipun saat itu ia sudah menjadi maharaja. Tradisi seperti ini memang berlaku dalam sejarah Kerajaan Medang di mana seorang raja

mencantumkan pula gelar lamanya sebagai kepala daerah, misalnya Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung.

7.  Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala

Menurut prasasti Wantil atau prasasti Siwagerha tanggal 12 November 856, Dyah Lokapala naik takhta menggantikan ayahnya, yaitu Sang Jatiningrat (gelar Rakai Pikatan sebagai brahmana). Pengangkatan putra bungsu sebagai raja ini didasarkan pada jasa kepahlawanan Dyah Lokapala dalam menumpas musuh ayahnya, yang bermarkas di timbunan batu di atas bukit Ratu Baka. (Pusat kerajaan tidak lagi di mataram tapi di mamratipu

8. Rakai Watuhumalang

Rakai Pikatan memiliki beberapa orang anak, antara lain Rakai Gurunwangi (prasasti Plaosan) dan Rakai Kayuwangi (prasasti Argapura). Sedangkan Rakai Watuhumalang mungkin juga putra Rakai Pikatan atau mungkin menantunya. akhir periode rakai pikatan terjadi perpecahan di Kerajaan Medang akibat perebutan kuasa antara Gurunwangi dan kayuwangi namun sepeninggal kayuwangi Watuhumalang yang menduduki tahta.

9.  Rakai Watukura Dyah Balitung

Rakai Watuhumalang memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap) dan menantu bernama Dyah Balitung (prasasti Mantyasih). Dyah Balitung inilah yang mungkin berhasil menjadi pahlawan dalam menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga takhta pun jatuh kepadanya sepeninggal Rakai Watukura. Pada akhir pemerintahan Dyah Balitung terjadi persekutuan antara

Mpu Daksa dengan Rakai Gurunwangi (prasasti Taji Gunung). Kiranya pemerintahan Dyah Balitung berakhir oleh kudeta yang dilakukan kedua tokoh tersebut. memindahkan pusat pemerintahan kerajaan medang dari mamratipura ke poh-pitu(sekitar kedu)   

10.  Mpu Daksa

Mpu Daksa naik takhta menggantikan Dyah Balitung yang merupakan saudara iparnya. Hubungan kekerabatan ini berdasarkan bukti bahwa Daksa sering disebut namanya bersamaan dengan istri Balitung dalam beberapa prasasti. Selain itu juga diperkuat dengan analisis sejarawan Boechari terhadap berita Cina dari Dinasti TangTat So Kan Hiung, yang artinya “Daksa, saudara raja yang gagah berani”

11.  Rakai Layang Dyah Tulodong

Dyah Tulodhong dianggap naik takhta menggantikan Mpu Daksa. Dalam prasasti Ritihang yang dikeluarkan oleh Mpu Daksa terdapat tokoh Rakryan Layang namun nama aslinya tidak terbaca. Ditinjau dari ciri-cirinya, tokoh Rakryan Layang ini seorang wanita berkedudukan tinggi, jadi tidak mungkin sama dengan Dyah Tulodhong. Mungkin Rakryan Layang adalah putri Mpu Daksa. Dyah Tulodhong berhasil menikahinya sehingga ia pun ikut mendapatkan gelar Rakai Layang, bahkan naik takhta menggantikan mertuanya, yaitu Mpu Daksa. Dalam prasasti Lintakan Dyah Tulodhong disebut sebagai putra dari seseorang yang dimakamkan di Turu Mangambil.

12.  Rakai Sumba Dyah Wawa

Dalam prasasti Wulakan tanggal 14 Februari 928, Dyah Wawa mengaku sebagai anak Kryan Landheyan sang Lumah ri Alas (putra Kryan Landheyan yang dimakamkan di hutan). Nama ayahnya ini mirip dengan Rakryan Landhayan, yaitu ipar Rakai Kayuwangi yang melakukan penculikan dalam peristiwa Wuatan Tija.

13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur

Istana Kerajaan Medang pada awal berdirinya diperkirakan terletak di daerah Mataram (dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Lalu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung sudah pindah lagi ke Poh Pitu (masih di sekitar Kedu). Kemudian pada zaman Dyah Wawa diperkirakan kembali ke daerah Mataram.

Mpu Sindok kemudian memindahkan istana Medang ke wilayah Jawa Timur sekarang. Dalam beberapa prasastinya, ia menyebut kalau kerajaannya merupakan kelanjutan dari Kerajaan Medang di Jawa Tengah. Misalnya, ditemukan kalimat berbunyi Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram i Watugaluh.

14. Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya

Sri Isyana Tunggawijaya merupakan putri dari Mpu Sindok, yaitu raja yang telah memindahkan istana Kerajaan Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur. Tidak banyak diketahui tentang masa pemerintahannya. Suaminya yang bernama Sri Lokapala merupakan seorang bangsawan dari pulau Bali.

Peninggalan sejarah Sri Lokapala berupa prasasti Gedangan tahun 950 yang berisi tentang anugerah desa Bungur Lor dan desa Asana kepada para pendeta Buddha di Bodhinimba. Namun, prasasti Gedangan ini merupakan prasasti tiruan yang dikeluarkan pada zaman Kerajaan Majapahit untuk mengganti prasasti asli yang sudah rusak.

Prasasti atau piagam dianggap sebagai benda pusaka yang diwariskan secara turun-temurun. Apabila prasasti tersebut mengalami kerusakan, ahli waris biasanya memohon kepada raja yang sedang berkuasa untuk memperbaharuinya. Prasasti pembaharuan ini disebut dengan istilah prasasti tinulad.

Tidak diketahui dengan pasti kapan pemerintahan Sri Lokapala dan Sri Isyana Tunggawijaya berakhir. Menurut prasasti Pucangan, yang menjadi raja selanjutnya adalah putra mereka yang bernama Sri Makuthawangsawardhana.

15. Makuthawangsawardhana

Jalannya pemerintahan Makutawangsawardhana tidak diketahui dengan pasti. Namanya hanya ditemukan dalam prasasti Pucangan sebagai kakek Airlangga. Disebutkan bahwa, Makutawangsawardhana adalah putra pasangan Sri Lokapala dan Sri Isana Tunggawijaya putri Mpu Sindok.

Prasasti Pucangan juga menyebut Makutawangsawardhana memiliki putri

bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga. Dalam prasasti itu juga disebut

adanya nama seorang raja bernama Dharmawangsa, namun hubungannya dengan

Makutawangsawardhana tidak dijelaskan.

16.  Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir

Prasasti Pucangan tahun 1041 dikeluarkan oleh raja bernama Airlangga yang menyebut dirinya sebagai anggota keluarga Dharmawangsa Teguh. Disebutkan pula bahwa Airlangga adalah putra pasangan Mahendradatta dengan Udayana raja Bali. Adapun Mahendradatta adalah putri Makuthawangsawardhana dari Wangsa Isana. Airlangga sendiri kemudian menjadi menantu Dharmawangsa.

G. Akhir Hayat

Mpu Sindok meninggal dunia tahun 947 dan dicandikan di Isanabajra atau Isanabhawana. Meskipun dirinya seorang penganut Hindu aliran Siwa, namun tetap menaruh toleransi yang besar terdapat agama lain. Misalnya, ia menganugerahkan desa Wanjang sebagai sima swatantra kepada seorang pujangga bernama Sri Sambhara Suryawarana, yang telah berjasa menulis kitab Buddha aliran Tantrayana, berjudul Sang Hyang Kamahayanikan.

Menurut prasasti Pucangan, Mpu Sindok digantikan oleh putrinya yang bernama Sri Isana Tunggawijaya. Raja perempuan ini memerintah bersama suaminya yang bernama Sri Lokapala.

H. Konflik takhta periode Jawa Tengah

Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an), ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan kalau pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa. Sedangkan menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang.

Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin karena kepahlawanannya itu, ia dapat mewarisi takhta mertuanya.

Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong. Tidak diketahui dengan pasti apakah proses sukses ini berjalan damai ataukah melalui kudeta pula.

Tulodhong akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat sebagai pegawai pengadilan.

Teori van Bammelen

Menurut teori van Bammelen, perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu.

Istana Medang yang diperkirakan kembali berada di Bhumi Mataram hancur. Tidak diketahui dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana alam tersebut ataukah sudah meninggal sebelum peristiwa itu terjadi, karena raja selanjutnya yang bertakhta di Jawa Timur bernama Mpu Sindok.

Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana baru di daerah Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun 929. Dinasti yang berkuasa di Medang periode Jawa Timur bukan lagi Sanjayawangsa, melainkan sebuah keluarga baru bernama Isanawangsa, yang merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yaitu Sri Isana Wikramadharmottungga.4


I. Permusuhan dengan Sriwijaya

Selain menguasai Medang, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya.

Menurut teori de Casparis

Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra berubah menjadi permusuhan ketika Wangsa Sanjaya bangkit kembali memerintah Medang. Menurut teori de Casparis, sekitar tahun 850–an, Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa putra Samaragrawira.

4  P. D. Marwati Sejarah Nasional Indonesia II Balai Pustaka  Halaman 157

Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.

Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.4
 
J.  Peristiwa Mahapralaya

Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016. 4

Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu.
 
4 P. D. Marwati Sejarah Nasional Indonesia II Balai Pustaka  Halaman 159 
 
 
Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.

Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan
 
K.  Peninggalan Sejarah
 
(Kiri) Avalokitesvara lengan-dua. Jawa Tengah, abad ke-9/ke-10, tembaga, 12,0 x 7,5 cm. (Tengah: Chundā lengan-empat, Jawa Tengah, Wonosobo, Dataran Tinggi Dieng, abad ke-9/10, perunggu, 11 x 8 cm. (Kanan) Dewi Tantra lengan-empat (Chundā?), Jawa Tengah, Prambanan, abad ke 10, perunggu, 15 x 7,5 cm. Terletak di Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem.

Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang.

Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, dan tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa ini telah ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah satu warisan budaya dunia. 
 
L. Dinasti Sanjaya
 
Prasasti Canggal yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir memberikan gambaran yang cukup jelas tentang kehidupan politik Kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini bertuliskan tahun654 Saka atau 732, ditulis dengan huruf Palawa yang menggunakan bahasa Sansekerta. Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Raja Sanna. Raja Sanna kemudian digantikan oleh keponakannya Sanjaya. Masa pemerintahan

Sanna dan Sanjaya dapat kita ketahui dari deskripsi kitab Carita Parahyangan. Dalam prasasti lain, yaitu Prasasti Balitung, Raja Sanjaya dianggap sebagai pendiri Dinasti Sanjaya, penguasa Mataram Kuno.

Sanjaya dinobatkan sebagai raja pada tahun 717 dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Kedududkan Sanjaya sangat kuat dan berhasil menyejahterakan rakyat Kerajaan Mataram Kuno. Sanjaya menyebarkan pengaruh Hindu di pulau Jawa. Hal ini ditempuh dengan cara mengundang pendeta-pendeta Hindu untuk mengajar di Kerajaan Mataram Kuno. Raja Sanjaya juga mulai pembangunan kuil-kuil pemujaan berbentuk candi. Stelah Raja Sanjaya meninggal, Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh putranya yang bernama Rakai Panangkaran.

Raja Rakai Panangkaran banyak mendirikan candi, seperti Candi Sewu, Candi Plaosan dan Candi Kalasan. Dari bukti-bukti tersebut, diketahui bahwa Raja Rakai Panangkaran beragama Buddha. Raja Mataram Kuno setelah Rakai Panangkaran berturut-turut adalah Rakai Warak dan Rakai Garung. Raja Mataram Kuno selanjutnya adalah Rakai Pikatan. Persaingan dengan Dinasti Syilendra yang waktu itu diperintahkan oleh Raja Samaratungga dianggap menghalangi cita-citanya untuk menjadi Penguasa tunggal di Pulau Jawa.

Pada abad ke-9 terjadi penggabungan kedua dinasti tersebut melalui pernikahan politik antara Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya dengan Pramodawardhani (Putri Raja Samaratungga), dari keluarga Syailendra. Namun, perkawinan antara Rakai

Pikatan dengan Pramodawardhani tidak berjalan lancer. Setelah Samaratungga wafat, Kekuasaan beralih kepada Balaputradewa yang merupakan adik tiri dari

Pramodawardhani. Menurut beberapa Prasasti, seperti Prasasti Ratu Boko (856), menunjukkan telah terjadinya perang saudara antara Rakai Pikatan dengan Balaputradewa.

Balaputradewa mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Swarnadwipa(Sumatra). Ia kemudian berkuasa sebagai raja, mengantikan kakeknya di kerajaan Sriwijaya. Hal ini dapat dapat diketahu dari Prasasti Nalanda (India), yang menyatakan bahwa Raja Deewapaladewa dari Bengala menghadiahkan sebidang tanah kepada Raja Balaputradewa dari Swarnadwipa untuk membagun sebuah biara.

Setelah Balaputradewa dikalahkan, wilayah Kerajaan Mataram Kuno menjadi semakin luas kearah selatan (sekarang yogyakarta). Daerah ini dahulunya adalah wilayah Dinasti Syailendra. Rakai Pikatan mengusahakan agar rakyat dinasti Sanjaya dan Syailndra dapat hidup rukun. Pada masa ini, dibangun kuil pemujaan berbentuk candi, Seperti Candi Prambanan. Menurut Prasasti Siwagraha, Rakai Pikatan dan raja-raja Mataram Kuno berikutnya masih tetap menganut agama Hindu Siwa.

Berdasarkan Prasasti Balitung, setelah Rakai Pikatan wafat, kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh Rakai Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan penasehat yang juga jd pelaksana pemerintahan. Dewan yang terdiri atas lima patih yang dipimpin oleh seorang mahapatih ini sangat penting perananya. Raja Mataram selanjutnya adalah

Rakai Watuhumalang. Raja Mataram Kuno yang diketahui kemudian adalah Dyah Balitung yang bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Maha Dambhu adalah Raja Mataram Kuno yang sngat terkenal. Raja Balitung berhasil menyatukan kembali Kerajaan Mataram Kuno dari ancaman perpecahan.

Dimasa pemerintahannya, Raja Balitung menyempurnakan struktur pemerintahan dengan menambah susunan hierarki. Bawahan Raja Mataram terdiri atas tiga pejabat penting, yaitu Rakryan I Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh dua pejabat lainnya. Rakryan I Halu,dan Rakryan I Sirikan Struktur tiga pejabat itu menjadi warisan yang terus digunakan oleh kerajaan-kerajaan Hindu berikutnya, seperti Kerajaan Singasari dan Majapahit.

Selain struktur pemerintahan baru, Raja Balitung juga menulis Prasasti Balitung. Prasasti yang juga dikenal sebagai Prasasti Mantyasih ini adalah prasasti pertama di Kerajaan Mataram Kuno yang memuat silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno. Setelah Raja Balitung wafat pada tahun 910, Kerajaan Mataram Kuno masih mengalami pemerintahan tiga raja sebelum akhirnya pusat kerajaan pindah ke Jawa Timur. Sri Maharaja Daksa, yang pada masa pemerintahan Raja Balitung menjabat Rakryan i Hino, tidak lama memerintah Kerajaan Mataram Kuno. Penggantinya, Sri Maharaja Tulodhong juga mengalami nasib serupa.

Dibawah pimpinan Sri Maharaja Rakai Wawa. Kerajaan Mataram Kuno dilanda kekacauan dari dalam, yang membuat kacau ibu kota. Sementara itu, kekuatan ekonomi dan politik Kerajaan Sriwijaya makin mendesak kedudukan Mataram di Jawa. Pada masa itu, wilayah kerajaan mataram kuno juga dilanda oleh bencana letusan Gunung Merapi yang sangat membahayakan ibu kota kerajaan. Seluruh masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh Rakai Wawa. Ia wafat secara mendadak. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Mpu Sindok yang waktu itu menjadi Rakryan i Hino. 
 
 
M. Dinasti Syailendra 
 
Dinasti Syailendra berkuasa didaerah Begelan dan Yogyakarta pada pertengahan abad ke-8. Beberapa sumber sejarah tentang Dinasti Syailendra yang berhasil ditemukan, antara lain prasasti Kalasan, Kelurak, Ratu Boko, dan Nalanda. Prasasti Kalasan (778), menyebutkan nama Rakai Panangkaran yang diperintahkan oleh Raja Wisnu, penguasa Dinasti Syailendra, untuk mendirikan sebuah bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah vihara bagi para pendeta. Rakai Panangkaran kemudian memberikan Desa Kalasan kepada Sanggha Buddha. Prasasti Ratu Boko (856), menyebutkan Raja Balaputradewa kalah dalam perang saudara melawan kakaknya, yaitu Pramodhawardani. Kemudian, ia melarikan diri ke Kerajaan Sriwijaya. Prasasti Nalanda (860), menyebutkan asal usul Raja Balaputradewa. Disebutkan bahwa Raja Balaputradewa adalah putra dari Raja Samaratungga dan cucu dari Raja Indra.

Pada abad ke-8, Dinasti Sanjaya yang memerintah KerajaanMataram Kuno mulai terdesak oleh dinasti Syailendra. Hal itu kita ketahui dari prasasti Kalasan yang menyebutkan bahwa Rakai Panangkaran dari keluarga Sanjaya diperintah oleh Raja Wisnu untuk mendirikan Candi Kalasan, sebuah candi Buddha. Dinasti Syailendra muncul dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuno tidak lebih dari satu abad. Pengaruh Dinasti Syailendra terhadap kerajaan Sriwijaya juga semakin kuat karena Raja Indra menjalankan strategi perkawinan politik. Raja Indra mengawinkan putranya yang bernama Samaratungga dengan salah seorang putri Raja Sriwijaya.

Pengganti Raja Indra adalah Raja Samaratungga. Pada masa kekuasaannya, dibangun Candi Borobudur. Namun, sebelum Candi tersebut selesai dibangun, Raja Samaratungga meninggal dunia, dalam sebuah perang saudara. Balaputradewa kemudian melarikan diri ke Kerajaan Sriwijaya dan menjadi raja disana.
 
N. Daftar Raja - raja Medang 
 
Apabila teori Slamet Muljana benar, maka daftar raja-raja Medang sejak masih berpusat di Bhumi Mataram sampai berakhir di Wwatan dapat disusun secara lengkap sebagai berikut:

1. Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang

2. Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Syailendra

3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra

4. Rakai Warak alias Samaragrawira

5. Rakai Garung alias Samaratungga

6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya

7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala

8. Rakai Watuhumalang

9. Rakai Watukura Dyah Balitung

10. Mpu Daksa

11. Rakai Layang Dyah Tulodong

12. Rakai Sumba Dyah Wawa

13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur

14. Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya

15. Makuthawangsawardhana

16. Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir

Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-raja sesudahnya semua memakai gelar Sri Maharaja. 
 
O. Struktur Pemerintahan
 
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.

Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja.

Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.

Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.

Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta.

Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.

Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.

P. Keadaan penduduk

Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.

Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.

Q. Kehidupan ekonomi

Mpu Sindok memerintah dengan bijaksana. Hal ini bisa dilihat dari usaha usaha yang ia lakukan, seperti Mpu Sindok banyak membangun bendungan dan memberikan hadiah-hadiah tanah untuk pemeliharaan bangunan suci untuk meningkatkan kehidupan rakyatnya. Begitu pula pada masa pemerintahan Airlangga, ia berusaha memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh di muara Sungai Berantas dengan memberi tanggul-tanggul untuk mencegah banjir. Sementara itu dibidang sastra, pada masa pemerintahannya telah tercipta satu hasil karya sastra yang terkenal, yaitu karya Mpu Kanwa yang berhasil menyusun kitab Arjuna Wiwaha.

 Pada masa Kerajaan Kediri banyak informasi dari sumber kronik Cina yang menyatakan tentang Kediri yang menyebutkan Kediri banyak menghasilkan beras, perdagangan yang ramai di Kediri dengan barang yang diperdagangkan seperti emas, perak, gading, kayu cendana, dan pinang. Dari keterangan tersebut, kita dapat menilai bahwa masyarakat pada umumnya hidup dari pertanian dan perdagangan.

R. Kehidupan Sosial Budaya
 
Dalam bidang toleransi dan sastra, Mpu Sindok meniginkan penyusunan kitab Sanghyang Kamahayamikan (Kitab Suci Agama Buddha), padahal Mpu Sindok sendiri beragama Hindu. Pada masa pemerintahan Airlangga tercipta karya sastra Arjunawiwaha yang dikarang oleh Mpu Kanwa. Begitu pula seni wayang berkembang dengan baik, ceritanya diambil dari karya sastra Ramayana dan Mahabharata yang ditulis ulang dan dipadukan dengan budaya Jawa.

Raja Airlangga merupakan raja yang peduli pada keadaan masyarakatnya. Hal itu terbukti dengan dibuatnya tanggul-tanggul dan waduk di beberapa bagian di Sungai Berantas untuk mengatasi masalah banjir. Pada masa Airlangga  banyak dihasilkan karya-karya sastra, hal tersebut salah satunya disebabkan oleh kebijakan raja yang melindungi para seniman, sastrawan dan para pujangga, sehingga mereka dengan bebas dapat mengembangkan kreativitas yang mereka miliki.
Pada kronik-kronik Cina tercatat beberapa hal penting tentang Kediri yaitu:


1) Rakyat Kediri pada umumnya telah memiliki tempat tinggal yang baik, layak huni dan tertata dengan rapi, serta rakyat telah mampu untuk berpakaian dengan baik.

2) Hukuman di Kediri terdapat dua macam yaitu denda dan hukuman mati bagi perampok.

3) Kalau sakit rakyat tidak mencari obat, tetapi cukup dengan memuja para dewa


S. Sumber-sumber Sejarah Kerajaan Medang

Sumber-sumber sejarah yang menyebutkan keberadaan kerajaan Medang, sumber-sumber ini dalam bentuk candi dan prasasti antara lain :
 
a) Prasasti Mantyasih yaitu Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha saudara perempuan Sanna.

b) Prasasti Sanggurah merupakan prasasti berangka tahun 982 Masehi yang ditemukan di daerah Malang dan menyebut nama penguasa daerah itu, Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga (Dyah Wawa). Prasasti berbentuk tablet ini disebut juga Prasasti Minto karena dihadiahkan oleh Raffles kepada Lord Minto, keduanya pernah memimpin Hindia Belanda ketika Britania Raya menguasai Belanda pada dasawarsa kedua abad ke-19.

c) Prasasti dinoyo  yaitu prasasti yang ditemukan terputus menjadi tiga  bagian. Bagian yang tengah di temukan di Desa Dinoyo, sedang dibagian atas dan bagian bawah ditemukan di Desa Merjosari, kira-kira 2 Km  disebelah barat Dinoyo.

Mengingat kasus di gunung Wukir dan prasasti Canggal, mungkin sekali prasasti Dinoyo ini asalnya justru dari Merjosari, yang memangternyata menghasilkan sisa-sisa bangunan. De casparis menduga bahwa batu prasasti itu berasal dari Desa Kejuron, pendapat ini mungin kurang dapat diterima karena Kejuron mungkin justru merupakan pusat kerajaan, sedang prasasti tentulah tidak didirikan dipusat kerajaan, tetapi di dekat candinya.

d)  Prasasti Wantil, Mpu Manuku membangun ibu kota baru di desa Mamrati sehingga ia pun dijuluki sebagai Rakai Mamrati. Istana baru itu bernama Mamratipura, sebagai pengganti ibu kota yang lama, yaitu Mataram.Prasasti Wantil disebut juga prasasti Siwagreha yang dikeluarkan pada tanggal 12 November856. Prasasti ini selain menyebut pendirian istana Mamratipura, juga menyebut tentang pendirian bangunan suci Siwagreha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa.

Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan Mataram/Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Mataram.

Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, dan tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa ini telah ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah satu warisan budaya dunia.

S. Penyebab Pindahnya Wangsa Ingsana ke Jawa Timur
 
Disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, disebabkan oleh letusan gunung Merapi yang mengeluarkan lahar. Kemudian lahar tersebut menimbun candi-candi yang didirikan oleh kerajaan, sehingga candi-candi tersebut menjadi rusak. Kedua, runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh krisis politik yang terjadi tahun 927-929 M. Ketiga, runtuhnya kerajaan dan perpindahan letak kerajaan dikarenakan pertimbangan ekonomi.

Di Jawa Tengah daerahnya kurang subur, jarang terdapat sungai besar dan tidak terdapatnya pelabuhan strategis. Sementara di Jawa Timur, apalagi di pantai selatan Bali merupakan jalur yang strategis untuk perdagangan, dan dekat dengan daerah sumber penghasil komoditi perdagangan.

Mpu Sindok mempunyai jabatan sebagai Rake I Hino ketika Wawa menjadi raja di Mataram, lalu pindah ke Jawa timur dan mendirikan dinasti, Isyana di sana dan menjadikan Walunggaluh sebagai pusat kerajaan . Mpu Sindok yang membentuk dinasti baru, yaitu Isanawangsa berhasil membentuk Kerajaan Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yang berpusat di Jawa Tengah. Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M.

Sumber sejarah yang berkenaan dengan Kerajaan Mataram di Jawa Timur antara lain prasasti Pucangan, prasasti Anjukladang dan Pradah, prasasti Limus, prasasti Sirahketing, prasasti Wurara, prasasti Semangaka, prasasti Silet, prasasti Turun Hyang, dan prasasti Gandhakuti yang berisi penyerahan kedudukan putra mahkota oleh Airlangga kepada sepupunya yaitu
Samarawijaya putra Teguh Dharmawangsa.
 
 
 
BAB III
PENUTUP 
 
A. Simpulan

Pada kerajaan di Jawa Tengah ,raja Wawa(924-929)serta merta tampil sebagai penguasa di jawa tengah, dibantu oleh pati sekaligus. Runtuhnya kerajaan Medang di akibatkan kerajaan Sriwijaya dibantu Raja Wurawuri dari semenanjung Melayu membalas serangan Dharmawangsa Teguh(1016).

Bukti-bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan Mataram/Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. menantunya, Mpu Sindok, sangat toleran terhadap pemeluk agama Budha Mahayana ,serta Sang Hyang Kamahaniyanikan berhasil digubah kedalam Bahasa Jawa Kuno dari Bahasa Sanksekerta

Didalam prasasti Sangguran disebut sima kajurugusalyan di Mananjung, karena ada jabatan juru gusali, yaitu ketua para pandai besi, didalam prasasti Balingawan disebut sima kamulan.

Didalam kerajaan Mataram secara khusus menganut suatu landasan kosmogonis yaitu kepercayaan akan arus adanya suatu keserasian antara dunia manusia ini ( mikrokosmos) dengan alam semesta (mikrokosmos).

Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berdiri sejak awal abad ke-8. Pada awal berdirinya, kerjaan ini berpusat di Jawa Tengah. Akan tetapi, pada abad ke-10 pusat Kerajaan Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur.

Kerajaan Mataram Kuno mempunyai dua latar belakang keagamaan yang berbedaa, yakni agama Hindu dan Buddha.

Dalam bidang kebudayaan, seni ukir, lukis, hias dan patung serta seni sastra berkembang pesat. Hal ini terlihat dari kreasi para seniman dalam pembuatan gapura, ukiran-ukiran di istana maupun tempat ibadah. Contohnya gapura Candi Bentar di makam Sunan Tembayat (Klaten) diperkirakan dibuat pada masa Sultan Agung.

Masyarakat Mataram disusun berdasarkan sistem feodal. Dengan sistem tersebut maka raja adalah pemilik tanah kerajaan beserta isinya
 
 
 B. Saran
 
1. Kami minta maaf pada pembaca bila isi makalah kami kurang jelas.

2. Agar kita pahami sebab perpindahan Kerajaan Medang lebih luas kita harus membaca lebih banyak.

3. Supaya lebih banyak tahu tentang Kerajaan Medang kita harus banyak bertanya. 




DAFTAR PUSTAKA
 
P. D. Marwati Sejarah Nasional Indonesia II Balai Pustaka  Halaman 157 dan 159

M.C Ricklefs 1989 Sejarah Indonesia Modern Monash University : Gajah Mada

Dianawati Ajen 2004 Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap (RPUL) Jakarta : PT Wahyu Media.

Hadisumarnu S, R.Bintarto 1979  Metode Analisa Geografi Jakarta : LP3ES

Syukur, Abdul, Ensiklopedi Umum untuk Pelajar , Jilid 6, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005.

Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara

Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka

A.R.Abu Djahri.2004.Silsilah Raja-raja di Indinesia.Solo:Kraton Surakarta

Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka

Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

Pranoedjoe Poespaningrat.2008.Kisah Para Leluhur dan yang Diluhurkan dari Mataram Kuno sampai Mataram Baru.Jakarta:Puslitbang

R.Ng. Poerbatjaraa.1952.Riwayat Indonesia I. Djakarta : Jajasan Pembangunan.

Badrika, I wayan. 2000. Sejarah Nasional Indonesia dan Umum. Jakarta: Erlangga.

Suyono, Capt. R. P. 2003. Peperangan Kerajaan Di Nusatara. Jakarta: PT Grasindo.

http://rudikomarudin.blogspot.com/2010/04/kerajaan-mataram-kuno.html

http://pakyok.wordpress.co

http://gurumuda.com/bse/negara-kerajaan-mataram-kuno#more-3888

http://msmunir.batan.go.id/sejarah_kediri/mataram.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Medang

http://history1978.wordpress.com/all-about-indonesian-history/era-kerajaan-hindu-budha/
 

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar